Pertama, aku bakal bahas tentang makanannya. Sulit bagi seseorang untuk mencatat jenis masakan khas Banjar, karena terlalu banyak selain itu masakan khas juga terdapat di anak suku seperti anak suku Banjar yang berasal dari Alabio, Amuntai, Tanjung, Paringin. Negara, Kandangan, Rantau, Martapura dan daerah lainnya.
Seingat penulis masakan Banjar, antara lain, laksa, lontong, katupat kandangan, karih, nasi kuning, masak habang, masak kuning, opor putih, opor habang, opor kuning, iwak bapais, garih batanak,gangan lamak, papuyu baubar, papuyu basanga, haruan baubar, mandai, paisan pipih, paisan patin, paisan baung, saluang basanga, gangan waluh, gangan karuh, haruan masak kecap, gangan nangka, gangan pisang, gangan humbut, gangan rabung, bistik, gangan gadang pisang, gangan haliling, gangan katuyung, gangan kaladi, luncar kaladi, lumbu kaladi bapais, urap, lodeh nangka, kulit nangka bajaruk, jaruk tarap, paisan wadi haruan, paisan wadi sapat, wadi basanga, pakasam bapais, pakasam basanga, iwak bakukus, kalangkala bakulu, jaruk kalangkala, jambu biji bacampur santan, tarung babanam basantan, tarung batanak, using-using kangkung, using-using tarung hintalu, using-using hundang papai, daging sanggingan, karih daging, sop buntut, rawon, jaruk kulit pisang, kembang tigaron bajaruk, gangan asam dan banyak.
Lalu kita beralih ke kebudayaannya. Berikut tulisan tentang kebudayaan Banjar yang aku dapat.
BUDAYA BANJAR DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI
diambil dari tulisan Humaidy Abdussami A sisalah satu situs internet
Propinsi Kalimantan Selatan merupakan propinsi kecil dari empat buah propinsi yang terdapat di pulau Kalimantan. Luas daerahnya sekitar 414.675 Km2 yang terletak didaerah garis khatulistiwa. Pola kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan terutamauntuk suku Banjar, hampir 80% dari hulu sampai hilir ditandai dengan budaya yangkhas, yaitu kebudayaan sungai. Kebudayaan sungai hampir sama dengan kebudayaan air atau kebudayaan pantai yang mempunyai kesadaran kuat atas kepemilikan maritim(lautan). Sebaliknya berbeda dengan kebudayaan agraris atau kebudayaan pedalaman(daratan) yang mempunyai kesadaran kuat atas kepemilikan tanah. Ia berada sangatdekat dengan kebudayaan pantai dan berjarak jauh dengan kebudayaan pedalaman. Artinya, sangat kuat mempunyai kesadaran atas pemilikan maritim dan agakmengabaikan pemilikan tanah. Di daerah ini, sungai sejak zaman purba memang sebagai jalur lalu lintas utama antara daerah satu dengan daerah lainnya, sehingga Banjarmasin sering dijuluki sebagai River City (Kota sungai) atau Kota Seribu Sungai. Tempat konsentrasi penduduk di daerah ini disebut sebagai kampung. Istilahdesa baru dipakai setelah pemerintah Republik Indonesia selang beberapa waktu berdiri. Ada juga istilah lain untuk menyebut daerah tersebut sebagai benua. Secara historis suku Banjar adalah hasil pembauran unik dari sejarah sungai-sungai Bahau, Barito, Martapura, dan Tarebanio. Masayarakat Banjar sendiri sebenarnyaterdiri dari tiga golongan; kelompok Banjar Muara (Kuala), kelompok Banjar Hulu, kelompok Banjar Batang Banyu. Dari ketiga kelompok tersebut dalam perkembanganberikutnya mengalami proses akulturasi budaya yang saling mengisi dan saling memperbaharui. Proses pewarisan budaya Banjar tidak hanya terjadi secara turun-temurun tetapi juga ada pengaruh kondisi lain yang berupa kesatuan wilayah (sebagai bekas kerajaan Banjar) dan kesatuan agama (Islam), bahkan adanya pembaharuan yangunik antara penduduk yang asli yaitu Dayak (suku Ngaju, Bukit dan Maanyan), Melayu danJawa. Dalam rentetan sejarah berikutnya kebudayaan Banjar dimulai dari percampurankebudayaan Melayu, kebudayaan Bukit, dan kebudayaan Maanyun sebagai kebudayaan intiyang membentuk kerajaan Tanjungpura dengan menganut agama Budha.Percampuran kebudayaan setempat dengan kebudayaan Jawa, pertama kaliterjadi ketika terbentuk kerajaan Negara Dipa di Amuntai dan kerajaan Negara Daha di Nagara yang beragama Hindu. Pada akhirnya terjadi perpaduan kebudayaan Ngaju,Maanyan, Bukit, Melayu dengan kebudayaan Jawa yang membentuk Kerajaan Banjar yangberagama Islam.Jadi masyarakat Banjar ada yang mendefinisikan sebagai komunitas etnik ataukumpulan penduduk asli Kalimantan Selatan yang termasuk dalam kelompok Melayu Muda (terdiri dari etnik Melayu sebagai etnik dominan kemudian ditambah denganunsur Bukit, Ngaju, Maanyan dan Jawa) yang umumnya tinggal disekitar pantai dandialiran sungai serta telah menganut agama Islam. Masyarakat ini terbentuk beriringandengan kemenangan Sultan Syuriansyah dalam perang tanding melawan pamannya sendiriPangeran Tumenggung yang mengangkangi amanah. Kemudian istilah Banjar sendiri bukan sekadar konsep etnis akan tetapi sekaligus konsep politis, sosiologis, dan agamis. Artinya masyarakat Banjar adalah masyarakatIslam karena memang mayoritas mereka memeluk agama Islam yang taat dan bahkan cederung fanatik. Dengan identitas inilah biasanya mereka dibedakan dengan orangDayak yang tinggal di pedalaman dan umumnya tidak beragama Islam, disamping untuk membedakan dengan masa lalu mereka yang beragama Hindu, Budha, Animisme,Dinamisme, Totemisme, dan kepercayaan sejenisnya. Tetapi bukan berarti seluruh kepercayaan lama ini dibabat habis oleh masyarakat Banjar sesudah memeluk agamaIslam, melainkan masih terdapat sisa-sisanya yang diserap menjadi satu kesatuan mata rantai dalam ajaran Islam terutama hal-hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilaiesensialnya. Sebab memang Islam masuk di daerah ini dengan cara lembut dan damai sehingga hal-hal lama yang bersesuaian dengan ruh Islam akan terserap sedemikian rupake dalam menjadi kesatuan utuh yang saling mengisi dan memperkaya satu sama lain.Sedangkan bahasa yang dipakai masyarakat Banjar adalah Bahasa Banjar yangelemen bahasa Melayu sangat dominan, kemudian ada unsur Bahasa Jawa, dan BahasaNgaju. Kata Banjarmasih yang sekarang menjadi Banjarmasin berasal dari unsur bahasaMelayu yaitu Banjar yang berarti kampung dalam bahasa Melayu, dan kata masih adalah sebutan perkampungan orang Melayu dalam ucapan bahasa Ngaju. Kata Banjarmasih inilahyang kemudian menjadi Banjarmasin sebagai Ibukota propinsi Kalimantan Selatan.
Dari rentetan persentuhan berbagai budaya ini, budaya Banjar seolah-olah tenggelam dan kehilangan orisinalitas-otentisitasnya karena sedemikian terbuka, apalagi kemudian daerah pesisir menjadi basis dan pusat kerajaan membuat budaya Banjar lebih terbuka lagi, sehingga ada yang bilang budaya Banjar itu seolah-olah tidak ada, yang adaadalah budaya Dayak, budaya Jawa, budaya Melayu yang terbungkus menjadi satu dalam baju budaya Banjar.Sampai di sini saja sudah terlihat bahwa budaya Banjar punya watak demokratis. Hal ini ditandai dengan sangat terbuka dan sedemikian lenturnya budaya Banjar dalam menerima berbagai budaya lain yang pada mulanya asing. Ia sanggup mendudukkanbudaya-budaya lain tersebut sebagai mitra sejajar dan teman dialog yang setara dalamlokus dirinya. Bisa dikatakan, rasa-rasanya tidak mungkin masyarakat Banjar bersikapfanatik kesukuan (chauvinistik) apalagi sampai mengkultuskan rasa ashabiyahnya.C. Beberapa Nilai Demokrasi Memasuki lebih mendalam nilai-nilai demokrasi dalam budaya Banjar, dapatdisebutkan beberapa bentuk, di antaranya:1. Tradisi Musyawarah dan Keadilan Nilai-nilai demokrasi pada masyarakat Banjar, dalam tingkat tertentusebenarnya sudah dimulai sejak abad ke 17, bahkan mungkin lebih ke belakang lagi, karena feodalisme Jawa kata Faruk HT di tanah Antasari ini tidak begitu kuat, belum pernah merasuk dalam dan tak sempat melembaga. Kepemimpinan dan pengaturan masyarakat di kerajaan Banjar melalui dua komponen utama yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap proses terbentuknya nilai-nilaidemokrasi. Kedua komponen berpengaruh itu meliputi kehidupan bernegara yang menjamin terjadinya persamaan kesempatan bidang ekonomi dan kekuasaan, plusadanya ikatan kekeluargaan. Dalam masyarakat Banjar, pemimpin dari struktur yang paling atas hinggaterbawah tidak terlepas dari struktur politik, ekonomi dan sistem kekerabatan yangberkait-berkelindan antara satu dan yang lain. Nilai-nilai demokrasi tersebut, dimulai ketika Sultan Suriansyah (1526-1545),sebagai raja pertama kerajaan Banjar mengatur tata pemerintahannya. Langkah pertama yang diambil Sultan adalah tidak memilih jabatan Patih dan Mangkubumi dari golongan bangsawan, dari pemilik atau keluarga kerajaan, melainkan diambil dari Urang Jaba (rakyat biasa) yang cakap, memiliki kemampuan dan loyalitas-dedikasi yang tinggi terhadap kerajaan. Orang pertama yang dipilih kerajaan atas kehendak rakyat umum waktu itu adalah Patih Masih seorang anak nelayan ditepian sungai Martapura, tepatnya di daerah Kuin.Selain tradisi demokrasi yang tercermin dalam pengangkatan Patih dan Mangkubumi dari rakyat kecil tersebut, kerajaan Banjar juga mempunyai lembaga perwakilan yang disebut sebagai Dewan Musyawarah. Dewan Musyawarah iniberfungsi untuk membicarakan masalah-masalah agama Islam. DewanMusyawarah melakukan rapat untuk memutuskan hasil musyawarah secara demokratis. Di dalamnya yang berperan adalah Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Pengulu (Penghulu). Yang disebut terakhir bertugas memimpin jalannya lalu lintas pembicaraan dalam rapat.. Dalam urusan yang berkaitan dengan hukum-hukum duniawi (biasa disebutDirgama), persoalan ini dibicarakan secara khusus dengan rapat tersendiri olehSultan, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang berperan memimpin rapat adalah Jaksa. Begitu juga untuk urusan yang berkaitan dengan tata urusan kerajaan adalah merupakan agenda pembicaraan antara Sultan, Mangkubumi dan Dipati. Dari struktur pemerintahan, terdapat pula tradisi demokrasi, meskipun wujudnya lebih berkonsentrasi dalam sebuah kelompok kekerabatan besar (group) yakni kelompok kekerabatan yang di dalamnya terdapat proses pemilihanpemimpin, baik di tingkat adat di masyarakat maupun tingkat pemerintahan dikerajaan. Dalam ungkapan lain, masyarakat Banjar dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas diatur dalam kelompok kekerabatan besar yang lebih dikenal oleh orang Banjar sebagai Bubuhan. Sebenarnya kalau dilihat mekanisme kerja sistem Bubuhan ini; Sultan adalah kepala, ketua dari seluruh Bubuhan. Biasanya ketua Bubuhan ini dipilih berdasarkan senioritas (yang lebih tua), kekuatan, kecerdasan, kecakapan, kearifan, kepemimpinan dan memiliki rasa tanggung jawab sangat besar baik terhadap masyarakat maupun kerajaan. Sebagai ketua atau kepala Bubuhan, Sultan bertanggung jawab memutuskan soal-soal ke dalam, yakni persoalan interen yang ada di dalam Kulawarga Bubuhan, juga bertanggung jawab ke luar, yakni persoalaneksteren baik yang berkaitan dengan urusan pemerintahan maupun perniagaan. Model fungsi pengembangan wewenang dan kewajiban tersebut secara manajerial memiliki mekanisme yang jelas. Keterlibatan dalam mengambil kebijakan pada tingkat tertentu baik melalui musyawarah maupun instruksi ternyata bisa mengangkat orang untuk berbeda pendapat dan sependapat, yang mana keduanya merupakan bagian demokrasi. Penciptaan kondisi seperti ini akan berjalan sacara hirarkis, tetapi demokratis ke bawah, sesuai dengan lapisankedudukannya dalam masyarakat. Kesatuan yang ada dalam sistem Bubuhan antara lain terbukti denganadanya keterkaitan Bubuhan yang satu dengan Bubuhan yang lain. Ada banyak aspek yang terkandung dalam Bubuhan yang mampu menjaga kesatuan Bubuhan tersebut antara lain : Kesatuan kelompok darah yang bilateral, kesatuan ekonomis, kesatuan gotong-royong, kesatuan tindakan dalam mempertahankan diri dari serangan pihak musuh dan sebagainya. Kemudian ada juga tradisi yang berkaitan dengan keadilan, yang jugamerupakan salah satu nilai demokrasi paling esensial dan prinsipal. Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah (1650-1678) sistem politik dan pemerintahan kerajaan menjadi lebih kompleks di mana ada spesifikasi dalam pembidanganpersoalan-persoalan hukum. Dalam hal ini Mangkubumi yang bertindak sebagai King Vice Regent yang mempunyai empat Deputi dan empat Hakim, bertugas untuk memecahkan dan memutuskan persoalan-persoalan hukum. Begitu juga, persoalan pemerintahan dalam hubungannya dengan kerajaan luar (hubungan luar negeri), monopoli perdagangan, surat kontrak dan lisensi diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, sedangkan Sultan dalam persoalan ini sebagai penentu pengetuk palu. Tradisi demikian, kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang pada akhirnya membentuk suatu institusi yang pada saat itu dikenal sebagai Dewan Mahkota (The Royal Council). Tradisi musyawarah sebagai nilai demokrasi, baik di lingkungan kerajaanmaupun masyarakat terlihat hidup, ini bisa dibuktikan pada Undang-Undang Sultan Adam (1825-1827) dalam pasal 3 berbunyi; Tiap-tiap tetuha kampung kusuruhakan mamadahi anak buahnya dengan bamufakat, astamiyah lagi antara bakarabat supaya jangan banyak pamandiran dan babantahan. Maksudnya agar tokoh-tokoh (sesepuh) kampung membiasakan musyawarah untuk menghindari terjadinya salah paham dan percekcokan. Dengan demikian musyawarah yang bertujuan untuk mencari jalan keluarsecara bersama sekaligus memecahkan segala persoalan baik yang terjadi di dalamkeluarga maupun masyarakat, sejak dahulu sudah dilaksanakan masyarakat Banjar. Lebih dari itu, jika terjadi sengketa di suatu kampung, maka tetuha harusmendamaikannya dengan musyawarah, jika tidak selesai secara kekeluargaan barudibawa ke hadapan Hakim. Hal ini tercantum pada pasal 21 dalam Undang-Undang Sultan Adam; Tiap-tiap kampun kalu ada perbantahan, isi kampungnya kusuruhakan mamandirakan dan mamatutkan mufakat lawan nang tuha-tuha kampungnya itu, lamun tiada jua, mamandirakan ikam bawa pada Hakim. Maksudnya, jika tidak bisa selesai secara kekeluargaan, maka baru dibawa kehadapan Hakim. Demikian juga halnya dengan tradisi keadilan di masyarakat Banjar sudahlama berkembang. Di sana terdapat semacam lembaga keadilan yang disebut sebagai Mahkamah Syar’iyah yang dikepalai oleh seorang Mufti. Menurut Karel A. Steenbrink Undang-Undang Sultan Adam yang ditetapkan pada tanggal 15 Muharram 1251 H memberikan kesan bahwa kedudukan Mufti nirip denganMahkamah Agung yang ada sekarang, yang berfungsi pula sebagai lembaga untuk naik banding dari pengadilan di bawahnya yang disebut Karapatan Kadi. Tugas Mufti ini tercantum dalam Undang-Undang Sultan Adam terutama pada perkara7-8 yang berbunyi; Mufti batugas mambarikan fatwa kapada urang nang handak manjalankan hukum, dan bila urang itu maminta disuruh Sultan, dan urang ituharus malihatakan surat bukti dengan cap Sultan. Maksudnya, tugas Mufti adalah memberikan fatwa bagi mereka yang hendak menjalankan proses hukum dengan memperlihatkan surat bukti yang berstempel atau legalitas tandatangan Sultan.2. Tradisi Gotong Royong Tradisi gotong-royong sebagai ciri demokrasi, juga hidup dalam masyarakatBanjar. Ada ungkapan cukup terkenal yang menjadi pegangan hidup masyarakatBanjar; Gawi Sabumi Sampai Manuntung (kerja bersama sampai tuntas) atau WajaSampai Kaputing (kerja bersama dari awal sampai akhir) atau Kayuh Baimbai (dayung secara serempak). Maksudnya dalam melakukan pekerjaan sampai selesaidengan bergotong-royong secara bersama-sama, rambate rata hayu, singsingkanlengan baju, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Gotong royong ini banyak muncul dalam upacara adat dan upacarakeagamaan. Sebut saja beberapa sebagai umpama, upacara Manyanggar Banuayakni suatu upacara memberikan aneka ragam sesajen secara bersama-sama mulai pemimpin sampai rakyat biasa, baik kaum miskin maupun kaum kaya, orang tuaataupun anak-anak, dan lelaki atau perempuan, ikut hadir dengan peran masing-masing. Ada yang berperan sebagai pemimpin upacara, ada yang mengumpulakan sesajen, ada yang tugas menari, ada pula yang membunyikan gamelan, rebab dan rebana dengan diiringi lagu masbangun. Kemudian dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Banjar, gotong-royong terlihat sangat kental. Beberapa hari menjelang perkawinan para keluarga, tetangga dan kawan-kawan datang membantu segala persiapan yang berkaitandengan upacara perkawinan seperti mendirikan serobong (tenda) untuk tempat para saruan (undangan) memperluas palatar (teras) serambi depan,mempersiapkan pangawahan (bejana besar) untuk memasak, mendirikan nagapenantian (kursi pelaminan), memasang kakambangan (dekorasi), mengaturpaguringan (tempat tidur) kedua mempelai, yang diletakkan di tengah rumah dikelilingi oleh dinding air gici (gorden berhias), seperti adanya titian naga, kebun raja, taburan bintang, aneka kembang dan lain-lain. 3. Tradisi Persamaan Tradisi persamaan dalam masyarakat Banjar sudah terlihat pada aspek bahasa pengantar dan pergaulan hampir di seluruh Kalimantan (kecualiKalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Brunai Darussalam), sangat sederhana, tidak memiliki hirarkis yang sedemikian rigid sebagaimana bahasa Jawa, adatingkatan kromo, madyo dan kasar.Hal ini tampak pada rumah tangga masyarakat Banjar. Posisi suami sama dengan isteri selaku kepala keluarga dan profesinya dianggap sebagai sama-sama bekerja. Komunikasi antara suami dan isteri tampak sangat lugas, hampir tidak memakai bahasa yang hirarkis, dengan masing-masing memanggil ui atau umanya si anu atau ding dan ui atau abahnya si anu atau ka dalamtegur sapa dialog ulun-piyan (halus), aku-ikam (menengah) atau unda-nyawa (kasar),tanpa ada aturan untuk memakai bahasa yang halus saja. Demikian juga, hubunganantara kaka (kakak) dan ading (adik) baik laki-laki dengan laki-laki, perempuandengan perempuan maupun laki-laki dengan perempuan berjalan sangatdemokratis. Dalam komunikasi kaka dan ading, tidak ada hirarkis sama sekali. Kaka memanggil adingnya tidak dengan ding, cukup dengan menyebut ujung namanya (semisal Masniah, cukup dipanggil Niah). Begitu juga sebaliknya, ading tidak harus memanggil ka, mas atau abang, cukup menyebut ujung namanya saja(semisal Fauzi, cukup dipanggil Zi). Kemudian dalam budaya Banjar sejak dulu sampai sekarang tidak membedakan kedudukan lelaki dengan perempuan. Disebutkan dalam legenda atau Hikayat Lambung Mangkurat telah hidup seorang Ratu bernama Junjung Buih yang memerintah kerajaan Negara Dipa di daerah Amuntai (Hulu Sungai Utara), sejajar kedudukannya dengan Mpu Jatmika, Lambung Mangkurat danPangeran Suryanata. Lebih dari itu, dalam perkembangan berikutnya terutama pada Lambung Mangkurat, justru tunduk patuh di bawah telapak kaki Junjung Buih, hingga sampai hati membunuh keponakannya sendiri Sukmaraga danPatmaraga demi memenuhi ambisinya memiliki sendiri sang ratu tanpa ada persaingan. Selanjutnya, tercatat dalam sejarah Banjar pada masa pemerintahan SultanTahmidullah II yang menjadi ulama besar tidak saja lelaki, melainkan jugaperempuan. Ketika itu hidup ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari, Syekh Abdul Hamid Abulung, Syekh Abdul Wahab Bugis, Datu Sanggul, Syekh Muhammad As’ad dan Syekh Abu Su’uddidampingi ulama besar perempuan Syarifah (puteri Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari) dan Fatimah (pengarang kitab Parukunan, puteri Syekh Abdul WahabBugis). Di samping itu, tercatat juga dalam sejarah perang Banjar yang sangatpanjang, seorang pahlawan perempuan bernama Ratu Zaleha yang gigih berjuangmengusir penjajah Belanda (melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari) bersama-sama ayahnya Sultan Muhammad Seman, suaminya Gusti Muhammad Arsyad dan ibunya Nyai Salamah.
Melihat kenyataan sosial dan budaya semacam ini, sangat menarik pembahasan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ketika membahas tentangkonsep harta perpantangan dalam hukum faraid. Daya tariknya adalah nilai-nilaipersamaan yang sangat kental dalam pemikirannya yang hidup jauh sebelum wacana ini berkembang dengan baik. Di tangannya, fiqih faraid yang selama ini sangat bias perempuan, justru mampu memperlihatkan semangat egaliterianisme.Keegaliterianan pemikirannya ini dalam menetapkan hukum faraid tersebut sesungguhnya disinyalir banyak pihak sebagai bentuk dari salah satu sikapnya yang sangat akomodatif terhadap budaya lokal yang sudah sangat kuat mengakar. Meskipun kitab fiqih faraid karya Arsyad ini, baik naskah asli maupun salinannya atau yang sudah dicetak belum ditemukan. Ada yang mengatakan bahwa naskah aslinya berada di tangan salah seorang keturunannya yang bernama Syekh Abdurrahman Siddiq yang pernah menjabat Mufti di Kesultanan Siak, Indragiri, Riau. Namun demikian, pemikiran Arsyad dalam kitab tersebut tentang harta perpantangan dan ishlah telah mengakar kuat dalam masyarakat Banjar. Tradisi hidup (living tradition) hasil buah pemikirannya yang berdialektika denganrealitas sosial dan budaya masyarakat setempat ini mampu menjadi ketentuan selama berabad-abad masyarakat Banjar dalam pembagian harta warisan.Ada dua hal yang dikemukakan dalam kitab itu, yang berbeda denganketentuan fiqih konvensional. Pertama, istilah harta perpantangan (harta bersama)ini lahir sebagai buah pemikiran Arsyad dalam melihat perbedaan kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar. Di kalanganmasyarakat Arab, memang perempuan sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu kalau suaminya meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Namun dalam masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami. Oleh karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal dunia, makayang masih hidup lebih dahulu mengambil 50% dari harta perpantangan, dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan faraid. Ini jelas merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula, hukum waris Islam, yaitu keseluruhan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dibagi antara ahliwaris.Kemudian dalam membagi harta warisan yang sudah disisihkan dari harta perpantangan, Arsyad memakai mekanisme ishlah. Ishlah artinya permufakatanantara ahli-ahli waris untuk menyerahkan sebagian yang semestinya diterima salahsatu ahli waris, diserahkan kepada ahli waris lainnya yang menerima lebih kecil. Contohnya satu orang saudara laki-laki dengan dua orang saudara perempuan. Kalau jumlah harta warisan tersebut Rp 1.000.000, maka bagian saudara perempuan masing-masing Rp 250.000, sementara bagian saudara laki-laki adalahRp 500.000,. Setelah masing-masing pihak mengetahui bagiannya sesuai denganhukum faraid, lalu mereka bersepakat bahwa saudara laki-laki memberikan sebagian dari yang diterimanya kepada kedua orang saudara perempuannya sehingga jumlah yang mereka sama. Pengembangan hukum waris semacam ini jelas disemangati oleh persamaan derajat antara lelaki dan perempuan. Tidak hanya sampai di situ, bahkan lebih dari itu perempuan boleh juga dipilih untuk menjadi kepala Bubuhan dalammasyarakat Banjar. Suatu posisi yang sangat terhormat dan menjadi dambaan setiap individu orang Banjar. 4. Tradisi KebebasanSejak kecil anak Banjar sudah dilatih dan dididik orang tuanya untuk bebas memilih jalan hidupnya masing-masing agar cepat mandiri. Hal ini terkait eratdengan budaya dagang masyarakat Banjar yang sedemikian kuat. Sudah barang tentu kebebasan yang dimaksud lebih pada bidang ekonomi. Ada yang diajak berdagang kecil-kecilan, sekedar membantu orang tuanya berjualan, belajar kerja serabutan dengan memperoleh imbalan seadanya, diwanti-wanti prihal seluk-beluk berdagang atau mau meneruskan sekolah sepuas-puasnya. Bagi orang Banjar yangpenting bukan mau berdagang atau mau sekolah, melainkan bagaimana secepatmungkin melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan segera bebas, mandiridan merdeka.Untukmenuju kebebasan itu, anak Banjar berani menempuh jalan berat sekalipun. Tidak berhasil mencari atau mengembangkan pekerjaan di kampunghalaman, mereka akan nekat pergi mengembara ke tanah seberang-negeri orang, menjadi pengembara gigih dan madam (menetap) di sana. Sementara orang tuanyapun—jika itu sudah menjadi anaknya—dengan lapang dada dan rela hati melepaskan anaknya tanpa tangis dan rasa sedih, bahkan terkadang senyum-senyum saja karena dianggap sebagai kepergian yang biasa. Tidak heran, jika kemudian banyak dari pengembara-pengembara Banjar ini membangun koloni-koloni di tanah perantauan yang hampir meliputi seluruh Nusantara. Sebut sajabeberapa perkampungan Banjar di luar Kalimantan yang cukup terkenal, seperti Bangil, Nyamplungan (Surabaya), Jayengan (Solo), Kauman (Yogya), Johar (Semarang), Kuala Tungkal (Jambi), Tambilahan (Riau), Sapat, Batu Pahat dan Pulau Pinang (Malaysia) Tidak kalah pentingnya, tradisi kebebasan yang masih sangat kental di lembaga pendidikan punduk (semacam pondok pesantren) yang melatih danmendidik murid-muridnya untuk cepat mandiri, menjadi manusia merdeka. Di sana mereka mendalami berbagai ilmu agama sambil dilatih mandiri tanpa ada keharusan di kelak kemudian hari menjadi Tuan Guru (Kiyai atau Ulama).Meskipun lazimnya, memang kebanyakan dari jebolan punduk ini menjadi TuanGuru, tetapi tetap saja ada beberapa yang tidak berbakat atau bisa mencapai kesana. Suasana di dalam punduk juga mendorong semangat kebebasan. Hubunganantara Tuan Guru dan muridnya terjalin secara demokratis, tidak ada keharusan cium tangan atau serba patuh cukup sekedar hormat, dan itupun terbatas padasang Tuan Guru, tidak sampai kepada anak-cucu dan keturunannya. Dalam proses belajar-mengajar Tuan Guru lebih dialogis, membuka kesempatan cukup luas bagimurid untuk ikut aktif berinisiatif dalam rangka pencarian bersama. Hal ini,didukung lagi suasana sekitar punduk, banyak Tuan Guru ternama yang membuka pengajian spesifik, tempat para murid menguji, meneguhkan, mengembangkan dan memperluas keagamaannya yang diperoleh di dalam punduk. Lingkungan punduk Darussalam di Martapura dan punduk Rakha di Amuntai yang telah melahirkan banyak Tuan Guru berkualitas dan penuh semangat pembebasan.
Tradisi OposisiTradisi oposisi merupakan salah satu nilai demokrasi juga, yang dalam masyarakat Banjar sudah tumbuh sejak lama. Dalam sejarah Banjar senantiasa muncul kekuatan oposisi yang berusaha mengontrol jalannya sebuah rezim yang berkuasa. Keberadaan kekuatan oposisi ini terlihat dari sejak berdirinya kerajaanBanjar sampai keruntuhan, bahkan terus berlanjut hingga awal kemerdekaan. Ketika penguasa kerajaan Banjar dipegang oleh Pangeran Tumenggung, muncul Sultan Suriansyah (1526-1545) memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus berkuasa (1660-1663), Pangeran Adipati Anum (1663-1679) melakukan kudeta. Sebaliknya, ketika Adipati Anum berkuasa Amirullah Bagus (1680-1700), gantimengkudeta. Ketika Tahmidullah II (1761-1801) berkuasa, Pangeran Amir memberontak dengan 3000 orang bala tentara Bugis. Namun sayang, PangeranAmir kalah dan kemudian dibuang ke Sailon. Ketika Sultan Tamjidillah (1857-1859) berkuasa menjadi boneka penjajah Belanda, Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari yang keras menantangnya. Ketika memasuki zaman kemerdekaan Hasan Basri setia mengintegrasikan Kalimantan Selatan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, muncul Ibnu Hajar memberontak untuk mendirikan negara sendiri berlandaskan Islam. 6. Tradisi KritikTradisi Kritik dalam budaya Banjar, kebanyakan terekspresi dalam ungkapan seni. Pertama, pada kesenian Madihin salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar yang sangat populer, seringkali dalam melantunkan syair-syairnya Pemadihin (sekarang sangat terkenal John Tralala dan anaknya Hendra)menyelipkan kritikan pedas pada siapa saja yang sok alim, sok kuasa, sok pintar dan sok hebat dengan sindiran halus yang dibungkus bahasa pantun, indah, puitisdan humoris dalam bentuk dialogis bersahutan atau berbalas pantun baturai syairyang familiar dengan iringan irama gendang dari terbang (semacam rebana).Kedua, pada kesenian Mamanda yang merupakan teater rakyat, berisi ceritera hubungan raja dan para bangsawan dengan rakyatnya, dan biasanya berakhir secara Happy Ending. Dalam drama ini ditampilkan pemerintahan yang baik danbijaksana akan mendapat pujian rakyatnya. Sebaliknya pemerintahan zalim dan menindas akan mendapat tantangan dan perlawanan dari rakyatnya. Cerminankritik rakyat terhadap raja yang zalim dilontarkan oleh Ladon yang lucu sehinggakritiknya yang sangat tajam, tak terasa menusuk hati karena diiringi denganbanyolan-banyolan lucu dan menggelikan. Ketiga, pada legenda kisah si Palui yang setiap hari, setia hadir di koran Banjarmasin Post (koran yang terbesar oplahnya di Banjarmasin). Tokoh ini agak mirip dengan tokoh Kabayan di Jawa Barat, digambarkan sebagai sosok manusia lucu yang lugu, nakal, unik, agak pintar-pintar bodoh, agak bodoh-bodoh pintar dan agak berani-berani takut. Ia tampil sebagaipengkritik siapa saja yang dianggapnya berlebihan, arogan dan pongah. Sasarankritiknya bisa dirinya sendiri dan orang lain. Dari jago pukul kampung sampaipejabat pemerintah. Dari orang dusun sampai orang kota. Dari murid sampai Tuan Guru. Dari menantu sampai mertua. Dari anak sampai orang tuanya. Dari isteri sampai suaminya. Demikian seterusnya meliputi berbagai wajah tokoh yang perlu dikritik. Ungkapan kritiknya dibungkus dengan bahasa Banjar prokem yanghumoris dan menggelikan dengan metode berkisah yang khas dan sangat akrab dengan pembaca.
Sebenarnya banyak jenis kesenian lain dalam budaya Banjar yang memuatpesan kritik yang tidak mungkin diuraikan satu persatu di dalam ruangan tulisan sempit ini. Cukup uraian tiga kesenian di atas sebagai representasi signifikan. D. KesimpulanDemikianlah uraian nilai demokrasi dalam budaya Banjar yang berupa nilai musyawarah, keadilan, gotong-royong, persamaan, kebebasan, oposisi dan kritik. Nilai-nilai ini saya kira, bisa menjadi modal sosial dan modal kultural bagimasyarakat Banjar khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk mengembangkan nilai demokrasi yang kontekstual, relevan dan berakar kuat di ranah kebudayaan sendiri sehingga proses perjalanan demokratisasi bisa diharapkan bisa berjalan alami, mulus, anggun, damai dan elegan.
Dari rentetan persentuhan berbagai budaya ini, budaya Banjar seolah-olah tenggelam dan kehilangan orisinalitas-otentisitasnya karena sedemikian terbuka, apalagi kemudian daerah pesisir menjadi basis dan pusat kerajaan membuat budaya Banjar lebih terbuka lagi, sehingga ada yang bilang budaya Banjar itu seolah-olah tidak ada, yang adaadalah budaya Dayak, budaya Jawa, budaya Melayu yang terbungkus menjadi satu dalam baju budaya Banjar.Sampai di sini saja sudah terlihat bahwa budaya Banjar punya watak demokratis. Hal ini ditandai dengan sangat terbuka dan sedemikian lenturnya budaya Banjar dalam menerima berbagai budaya lain yang pada mulanya asing. Ia sanggup mendudukkanbudaya-budaya lain tersebut sebagai mitra sejajar dan teman dialog yang setara dalamlokus dirinya. Bisa dikatakan, rasa-rasanya tidak mungkin masyarakat Banjar bersikapfanatik kesukuan (chauvinistik) apalagi sampai mengkultuskan rasa ashabiyahnya.C. Beberapa Nilai Demokrasi Memasuki lebih mendalam nilai-nilai demokrasi dalam budaya Banjar, dapatdisebutkan beberapa bentuk, di antaranya:1. Tradisi Musyawarah dan Keadilan Nilai-nilai demokrasi pada masyarakat Banjar, dalam tingkat tertentusebenarnya sudah dimulai sejak abad ke 17, bahkan mungkin lebih ke belakang lagi, karena feodalisme Jawa kata Faruk HT di tanah Antasari ini tidak begitu kuat, belum pernah merasuk dalam dan tak sempat melembaga. Kepemimpinan dan pengaturan masyarakat di kerajaan Banjar melalui dua komponen utama yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap proses terbentuknya nilai-nilaidemokrasi. Kedua komponen berpengaruh itu meliputi kehidupan bernegara yang menjamin terjadinya persamaan kesempatan bidang ekonomi dan kekuasaan, plusadanya ikatan kekeluargaan. Dalam masyarakat Banjar, pemimpin dari struktur yang paling atas hinggaterbawah tidak terlepas dari struktur politik, ekonomi dan sistem kekerabatan yangberkait-berkelindan antara satu dan yang lain. Nilai-nilai demokrasi tersebut, dimulai ketika Sultan Suriansyah (1526-1545),sebagai raja pertama kerajaan Banjar mengatur tata pemerintahannya. Langkah pertama yang diambil Sultan adalah tidak memilih jabatan Patih dan Mangkubumi dari golongan bangsawan, dari pemilik atau keluarga kerajaan, melainkan diambil dari Urang Jaba (rakyat biasa) yang cakap, memiliki kemampuan dan loyalitas-dedikasi yang tinggi terhadap kerajaan. Orang pertama yang dipilih kerajaan atas kehendak rakyat umum waktu itu adalah Patih Masih seorang anak nelayan ditepian sungai Martapura, tepatnya di daerah Kuin.Selain tradisi demokrasi yang tercermin dalam pengangkatan Patih dan Mangkubumi dari rakyat kecil tersebut, kerajaan Banjar juga mempunyai lembaga perwakilan yang disebut sebagai Dewan Musyawarah. Dewan Musyawarah iniberfungsi untuk membicarakan masalah-masalah agama Islam. DewanMusyawarah melakukan rapat untuk memutuskan hasil musyawarah secara demokratis. Di dalamnya yang berperan adalah Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Pengulu (Penghulu). Yang disebut terakhir bertugas memimpin jalannya lalu lintas pembicaraan dalam rapat.. Dalam urusan yang berkaitan dengan hukum-hukum duniawi (biasa disebutDirgama), persoalan ini dibicarakan secara khusus dengan rapat tersendiri olehSultan, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang berperan memimpin rapat adalah Jaksa. Begitu juga untuk urusan yang berkaitan dengan tata urusan kerajaan adalah merupakan agenda pembicaraan antara Sultan, Mangkubumi dan Dipati. Dari struktur pemerintahan, terdapat pula tradisi demokrasi, meskipun wujudnya lebih berkonsentrasi dalam sebuah kelompok kekerabatan besar (group) yakni kelompok kekerabatan yang di dalamnya terdapat proses pemilihanpemimpin, baik di tingkat adat di masyarakat maupun tingkat pemerintahan dikerajaan. Dalam ungkapan lain, masyarakat Banjar dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas diatur dalam kelompok kekerabatan besar yang lebih dikenal oleh orang Banjar sebagai Bubuhan. Sebenarnya kalau dilihat mekanisme kerja sistem Bubuhan ini; Sultan adalah kepala, ketua dari seluruh Bubuhan. Biasanya ketua Bubuhan ini dipilih berdasarkan senioritas (yang lebih tua), kekuatan, kecerdasan, kecakapan, kearifan, kepemimpinan dan memiliki rasa tanggung jawab sangat besar baik terhadap masyarakat maupun kerajaan. Sebagai ketua atau kepala Bubuhan, Sultan bertanggung jawab memutuskan soal-soal ke dalam, yakni persoalan interen yang ada di dalam Kulawarga Bubuhan, juga bertanggung jawab ke luar, yakni persoalaneksteren baik yang berkaitan dengan urusan pemerintahan maupun perniagaan. Model fungsi pengembangan wewenang dan kewajiban tersebut secara manajerial memiliki mekanisme yang jelas. Keterlibatan dalam mengambil kebijakan pada tingkat tertentu baik melalui musyawarah maupun instruksi ternyata bisa mengangkat orang untuk berbeda pendapat dan sependapat, yang mana keduanya merupakan bagian demokrasi. Penciptaan kondisi seperti ini akan berjalan sacara hirarkis, tetapi demokratis ke bawah, sesuai dengan lapisankedudukannya dalam masyarakat. Kesatuan yang ada dalam sistem Bubuhan antara lain terbukti denganadanya keterkaitan Bubuhan yang satu dengan Bubuhan yang lain. Ada banyak aspek yang terkandung dalam Bubuhan yang mampu menjaga kesatuan Bubuhan tersebut antara lain : Kesatuan kelompok darah yang bilateral, kesatuan ekonomis, kesatuan gotong-royong, kesatuan tindakan dalam mempertahankan diri dari serangan pihak musuh dan sebagainya. Kemudian ada juga tradisi yang berkaitan dengan keadilan, yang jugamerupakan salah satu nilai demokrasi paling esensial dan prinsipal. Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah (1650-1678) sistem politik dan pemerintahan kerajaan menjadi lebih kompleks di mana ada spesifikasi dalam pembidanganpersoalan-persoalan hukum. Dalam hal ini Mangkubumi yang bertindak sebagai King Vice Regent yang mempunyai empat Deputi dan empat Hakim, bertugas untuk memecahkan dan memutuskan persoalan-persoalan hukum. Begitu juga, persoalan pemerintahan dalam hubungannya dengan kerajaan luar (hubungan luar negeri), monopoli perdagangan, surat kontrak dan lisensi diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, sedangkan Sultan dalam persoalan ini sebagai penentu pengetuk palu. Tradisi demikian, kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang pada akhirnya membentuk suatu institusi yang pada saat itu dikenal sebagai Dewan Mahkota (The Royal Council). Tradisi musyawarah sebagai nilai demokrasi, baik di lingkungan kerajaanmaupun masyarakat terlihat hidup, ini bisa dibuktikan pada Undang-Undang Sultan Adam (1825-1827) dalam pasal 3 berbunyi; Tiap-tiap tetuha kampung kusuruhakan mamadahi anak buahnya dengan bamufakat, astamiyah lagi antara bakarabat supaya jangan banyak pamandiran dan babantahan. Maksudnya agar tokoh-tokoh (sesepuh) kampung membiasakan musyawarah untuk menghindari terjadinya salah paham dan percekcokan. Dengan demikian musyawarah yang bertujuan untuk mencari jalan keluarsecara bersama sekaligus memecahkan segala persoalan baik yang terjadi di dalamkeluarga maupun masyarakat, sejak dahulu sudah dilaksanakan masyarakat Banjar. Lebih dari itu, jika terjadi sengketa di suatu kampung, maka tetuha harusmendamaikannya dengan musyawarah, jika tidak selesai secara kekeluargaan barudibawa ke hadapan Hakim. Hal ini tercantum pada pasal 21 dalam Undang-Undang Sultan Adam; Tiap-tiap kampun kalu ada perbantahan, isi kampungnya kusuruhakan mamandirakan dan mamatutkan mufakat lawan nang tuha-tuha kampungnya itu, lamun tiada jua, mamandirakan ikam bawa pada Hakim. Maksudnya, jika tidak bisa selesai secara kekeluargaan, maka baru dibawa kehadapan Hakim. Demikian juga halnya dengan tradisi keadilan di masyarakat Banjar sudahlama berkembang. Di sana terdapat semacam lembaga keadilan yang disebut sebagai Mahkamah Syar’iyah yang dikepalai oleh seorang Mufti. Menurut Karel A. Steenbrink Undang-Undang Sultan Adam yang ditetapkan pada tanggal 15 Muharram 1251 H memberikan kesan bahwa kedudukan Mufti nirip denganMahkamah Agung yang ada sekarang, yang berfungsi pula sebagai lembaga untuk naik banding dari pengadilan di bawahnya yang disebut Karapatan Kadi. Tugas Mufti ini tercantum dalam Undang-Undang Sultan Adam terutama pada perkara7-8 yang berbunyi; Mufti batugas mambarikan fatwa kapada urang nang handak manjalankan hukum, dan bila urang itu maminta disuruh Sultan, dan urang ituharus malihatakan surat bukti dengan cap Sultan. Maksudnya, tugas Mufti adalah memberikan fatwa bagi mereka yang hendak menjalankan proses hukum dengan memperlihatkan surat bukti yang berstempel atau legalitas tandatangan Sultan.2. Tradisi Gotong Royong Tradisi gotong-royong sebagai ciri demokrasi, juga hidup dalam masyarakatBanjar. Ada ungkapan cukup terkenal yang menjadi pegangan hidup masyarakatBanjar; Gawi Sabumi Sampai Manuntung (kerja bersama sampai tuntas) atau WajaSampai Kaputing (kerja bersama dari awal sampai akhir) atau Kayuh Baimbai (dayung secara serempak). Maksudnya dalam melakukan pekerjaan sampai selesaidengan bergotong-royong secara bersama-sama, rambate rata hayu, singsingkanlengan baju, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Gotong royong ini banyak muncul dalam upacara adat dan upacarakeagamaan. Sebut saja beberapa sebagai umpama, upacara Manyanggar Banuayakni suatu upacara memberikan aneka ragam sesajen secara bersama-sama mulai pemimpin sampai rakyat biasa, baik kaum miskin maupun kaum kaya, orang tuaataupun anak-anak, dan lelaki atau perempuan, ikut hadir dengan peran masing-masing. Ada yang berperan sebagai pemimpin upacara, ada yang mengumpulakan sesajen, ada yang tugas menari, ada pula yang membunyikan gamelan, rebab dan rebana dengan diiringi lagu masbangun. Kemudian dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Banjar, gotong-royong terlihat sangat kental. Beberapa hari menjelang perkawinan para keluarga, tetangga dan kawan-kawan datang membantu segala persiapan yang berkaitandengan upacara perkawinan seperti mendirikan serobong (tenda) untuk tempat para saruan (undangan) memperluas palatar (teras) serambi depan,mempersiapkan pangawahan (bejana besar) untuk memasak, mendirikan nagapenantian (kursi pelaminan), memasang kakambangan (dekorasi), mengaturpaguringan (tempat tidur) kedua mempelai, yang diletakkan di tengah rumah dikelilingi oleh dinding air gici (gorden berhias), seperti adanya titian naga, kebun raja, taburan bintang, aneka kembang dan lain-lain. 3. Tradisi Persamaan Tradisi persamaan dalam masyarakat Banjar sudah terlihat pada aspek bahasa pengantar dan pergaulan hampir di seluruh Kalimantan (kecualiKalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Brunai Darussalam), sangat sederhana, tidak memiliki hirarkis yang sedemikian rigid sebagaimana bahasa Jawa, adatingkatan kromo, madyo dan kasar.Hal ini tampak pada rumah tangga masyarakat Banjar. Posisi suami sama dengan isteri selaku kepala keluarga dan profesinya dianggap sebagai sama-sama bekerja. Komunikasi antara suami dan isteri tampak sangat lugas, hampir tidak memakai bahasa yang hirarkis, dengan masing-masing memanggil ui atau umanya si anu atau ding dan ui atau abahnya si anu atau ka dalamtegur sapa dialog ulun-piyan (halus), aku-ikam (menengah) atau unda-nyawa (kasar),tanpa ada aturan untuk memakai bahasa yang halus saja. Demikian juga, hubunganantara kaka (kakak) dan ading (adik) baik laki-laki dengan laki-laki, perempuandengan perempuan maupun laki-laki dengan perempuan berjalan sangatdemokratis. Dalam komunikasi kaka dan ading, tidak ada hirarkis sama sekali. Kaka memanggil adingnya tidak dengan ding, cukup dengan menyebut ujung namanya (semisal Masniah, cukup dipanggil Niah). Begitu juga sebaliknya, ading tidak harus memanggil ka, mas atau abang, cukup menyebut ujung namanya saja(semisal Fauzi, cukup dipanggil Zi). Kemudian dalam budaya Banjar sejak dulu sampai sekarang tidak membedakan kedudukan lelaki dengan perempuan. Disebutkan dalam legenda atau Hikayat Lambung Mangkurat telah hidup seorang Ratu bernama Junjung Buih yang memerintah kerajaan Negara Dipa di daerah Amuntai (Hulu Sungai Utara), sejajar kedudukannya dengan Mpu Jatmika, Lambung Mangkurat danPangeran Suryanata. Lebih dari itu, dalam perkembangan berikutnya terutama pada Lambung Mangkurat, justru tunduk patuh di bawah telapak kaki Junjung Buih, hingga sampai hati membunuh keponakannya sendiri Sukmaraga danPatmaraga demi memenuhi ambisinya memiliki sendiri sang ratu tanpa ada persaingan. Selanjutnya, tercatat dalam sejarah Banjar pada masa pemerintahan SultanTahmidullah II yang menjadi ulama besar tidak saja lelaki, melainkan jugaperempuan. Ketika itu hidup ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari, Syekh Abdul Hamid Abulung, Syekh Abdul Wahab Bugis, Datu Sanggul, Syekh Muhammad As’ad dan Syekh Abu Su’uddidampingi ulama besar perempuan Syarifah (puteri Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari) dan Fatimah (pengarang kitab Parukunan, puteri Syekh Abdul WahabBugis). Di samping itu, tercatat juga dalam sejarah perang Banjar yang sangatpanjang, seorang pahlawan perempuan bernama Ratu Zaleha yang gigih berjuangmengusir penjajah Belanda (melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari) bersama-sama ayahnya Sultan Muhammad Seman, suaminya Gusti Muhammad Arsyad dan ibunya Nyai Salamah.
Melihat kenyataan sosial dan budaya semacam ini, sangat menarik pembahasan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ketika membahas tentangkonsep harta perpantangan dalam hukum faraid. Daya tariknya adalah nilai-nilaipersamaan yang sangat kental dalam pemikirannya yang hidup jauh sebelum wacana ini berkembang dengan baik. Di tangannya, fiqih faraid yang selama ini sangat bias perempuan, justru mampu memperlihatkan semangat egaliterianisme.Keegaliterianan pemikirannya ini dalam menetapkan hukum faraid tersebut sesungguhnya disinyalir banyak pihak sebagai bentuk dari salah satu sikapnya yang sangat akomodatif terhadap budaya lokal yang sudah sangat kuat mengakar. Meskipun kitab fiqih faraid karya Arsyad ini, baik naskah asli maupun salinannya atau yang sudah dicetak belum ditemukan. Ada yang mengatakan bahwa naskah aslinya berada di tangan salah seorang keturunannya yang bernama Syekh Abdurrahman Siddiq yang pernah menjabat Mufti di Kesultanan Siak, Indragiri, Riau. Namun demikian, pemikiran Arsyad dalam kitab tersebut tentang harta perpantangan dan ishlah telah mengakar kuat dalam masyarakat Banjar. Tradisi hidup (living tradition) hasil buah pemikirannya yang berdialektika denganrealitas sosial dan budaya masyarakat setempat ini mampu menjadi ketentuan selama berabad-abad masyarakat Banjar dalam pembagian harta warisan.Ada dua hal yang dikemukakan dalam kitab itu, yang berbeda denganketentuan fiqih konvensional. Pertama, istilah harta perpantangan (harta bersama)ini lahir sebagai buah pemikiran Arsyad dalam melihat perbedaan kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar. Di kalanganmasyarakat Arab, memang perempuan sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu kalau suaminya meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Namun dalam masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami. Oleh karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal dunia, makayang masih hidup lebih dahulu mengambil 50% dari harta perpantangan, dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan faraid. Ini jelas merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula, hukum waris Islam, yaitu keseluruhan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dibagi antara ahliwaris.Kemudian dalam membagi harta warisan yang sudah disisihkan dari harta perpantangan, Arsyad memakai mekanisme ishlah. Ishlah artinya permufakatanantara ahli-ahli waris untuk menyerahkan sebagian yang semestinya diterima salahsatu ahli waris, diserahkan kepada ahli waris lainnya yang menerima lebih kecil. Contohnya satu orang saudara laki-laki dengan dua orang saudara perempuan. Kalau jumlah harta warisan tersebut Rp 1.000.000, maka bagian saudara perempuan masing-masing Rp 250.000, sementara bagian saudara laki-laki adalahRp 500.000,. Setelah masing-masing pihak mengetahui bagiannya sesuai denganhukum faraid, lalu mereka bersepakat bahwa saudara laki-laki memberikan sebagian dari yang diterimanya kepada kedua orang saudara perempuannya sehingga jumlah yang mereka sama. Pengembangan hukum waris semacam ini jelas disemangati oleh persamaan derajat antara lelaki dan perempuan. Tidak hanya sampai di situ, bahkan lebih dari itu perempuan boleh juga dipilih untuk menjadi kepala Bubuhan dalammasyarakat Banjar. Suatu posisi yang sangat terhormat dan menjadi dambaan setiap individu orang Banjar. 4. Tradisi KebebasanSejak kecil anak Banjar sudah dilatih dan dididik orang tuanya untuk bebas memilih jalan hidupnya masing-masing agar cepat mandiri. Hal ini terkait eratdengan budaya dagang masyarakat Banjar yang sedemikian kuat. Sudah barang tentu kebebasan yang dimaksud lebih pada bidang ekonomi. Ada yang diajak berdagang kecil-kecilan, sekedar membantu orang tuanya berjualan, belajar kerja serabutan dengan memperoleh imbalan seadanya, diwanti-wanti prihal seluk-beluk berdagang atau mau meneruskan sekolah sepuas-puasnya. Bagi orang Banjar yangpenting bukan mau berdagang atau mau sekolah, melainkan bagaimana secepatmungkin melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan segera bebas, mandiridan merdeka.Untukmenuju kebebasan itu, anak Banjar berani menempuh jalan berat sekalipun. Tidak berhasil mencari atau mengembangkan pekerjaan di kampunghalaman, mereka akan nekat pergi mengembara ke tanah seberang-negeri orang, menjadi pengembara gigih dan madam (menetap) di sana. Sementara orang tuanyapun—jika itu sudah menjadi anaknya—dengan lapang dada dan rela hati melepaskan anaknya tanpa tangis dan rasa sedih, bahkan terkadang senyum-senyum saja karena dianggap sebagai kepergian yang biasa. Tidak heran, jika kemudian banyak dari pengembara-pengembara Banjar ini membangun koloni-koloni di tanah perantauan yang hampir meliputi seluruh Nusantara. Sebut sajabeberapa perkampungan Banjar di luar Kalimantan yang cukup terkenal, seperti Bangil, Nyamplungan (Surabaya), Jayengan (Solo), Kauman (Yogya), Johar (Semarang), Kuala Tungkal (Jambi), Tambilahan (Riau), Sapat, Batu Pahat dan Pulau Pinang (Malaysia) Tidak kalah pentingnya, tradisi kebebasan yang masih sangat kental di lembaga pendidikan punduk (semacam pondok pesantren) yang melatih danmendidik murid-muridnya untuk cepat mandiri, menjadi manusia merdeka. Di sana mereka mendalami berbagai ilmu agama sambil dilatih mandiri tanpa ada keharusan di kelak kemudian hari menjadi Tuan Guru (Kiyai atau Ulama).Meskipun lazimnya, memang kebanyakan dari jebolan punduk ini menjadi TuanGuru, tetapi tetap saja ada beberapa yang tidak berbakat atau bisa mencapai kesana. Suasana di dalam punduk juga mendorong semangat kebebasan. Hubunganantara Tuan Guru dan muridnya terjalin secara demokratis, tidak ada keharusan cium tangan atau serba patuh cukup sekedar hormat, dan itupun terbatas padasang Tuan Guru, tidak sampai kepada anak-cucu dan keturunannya. Dalam proses belajar-mengajar Tuan Guru lebih dialogis, membuka kesempatan cukup luas bagimurid untuk ikut aktif berinisiatif dalam rangka pencarian bersama. Hal ini,didukung lagi suasana sekitar punduk, banyak Tuan Guru ternama yang membuka pengajian spesifik, tempat para murid menguji, meneguhkan, mengembangkan dan memperluas keagamaannya yang diperoleh di dalam punduk. Lingkungan punduk Darussalam di Martapura dan punduk Rakha di Amuntai yang telah melahirkan banyak Tuan Guru berkualitas dan penuh semangat pembebasan.
Tradisi OposisiTradisi oposisi merupakan salah satu nilai demokrasi juga, yang dalam masyarakat Banjar sudah tumbuh sejak lama. Dalam sejarah Banjar senantiasa muncul kekuatan oposisi yang berusaha mengontrol jalannya sebuah rezim yang berkuasa. Keberadaan kekuatan oposisi ini terlihat dari sejak berdirinya kerajaanBanjar sampai keruntuhan, bahkan terus berlanjut hingga awal kemerdekaan. Ketika penguasa kerajaan Banjar dipegang oleh Pangeran Tumenggung, muncul Sultan Suriansyah (1526-1545) memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus berkuasa (1660-1663), Pangeran Adipati Anum (1663-1679) melakukan kudeta. Sebaliknya, ketika Adipati Anum berkuasa Amirullah Bagus (1680-1700), gantimengkudeta. Ketika Tahmidullah II (1761-1801) berkuasa, Pangeran Amir memberontak dengan 3000 orang bala tentara Bugis. Namun sayang, PangeranAmir kalah dan kemudian dibuang ke Sailon. Ketika Sultan Tamjidillah (1857-1859) berkuasa menjadi boneka penjajah Belanda, Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari yang keras menantangnya. Ketika memasuki zaman kemerdekaan Hasan Basri setia mengintegrasikan Kalimantan Selatan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, muncul Ibnu Hajar memberontak untuk mendirikan negara sendiri berlandaskan Islam. 6. Tradisi KritikTradisi Kritik dalam budaya Banjar, kebanyakan terekspresi dalam ungkapan seni. Pertama, pada kesenian Madihin salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar yang sangat populer, seringkali dalam melantunkan syair-syairnya Pemadihin (sekarang sangat terkenal John Tralala dan anaknya Hendra)menyelipkan kritikan pedas pada siapa saja yang sok alim, sok kuasa, sok pintar dan sok hebat dengan sindiran halus yang dibungkus bahasa pantun, indah, puitisdan humoris dalam bentuk dialogis bersahutan atau berbalas pantun baturai syairyang familiar dengan iringan irama gendang dari terbang (semacam rebana).Kedua, pada kesenian Mamanda yang merupakan teater rakyat, berisi ceritera hubungan raja dan para bangsawan dengan rakyatnya, dan biasanya berakhir secara Happy Ending. Dalam drama ini ditampilkan pemerintahan yang baik danbijaksana akan mendapat pujian rakyatnya. Sebaliknya pemerintahan zalim dan menindas akan mendapat tantangan dan perlawanan dari rakyatnya. Cerminankritik rakyat terhadap raja yang zalim dilontarkan oleh Ladon yang lucu sehinggakritiknya yang sangat tajam, tak terasa menusuk hati karena diiringi denganbanyolan-banyolan lucu dan menggelikan. Ketiga, pada legenda kisah si Palui yang setiap hari, setia hadir di koran Banjarmasin Post (koran yang terbesar oplahnya di Banjarmasin). Tokoh ini agak mirip dengan tokoh Kabayan di Jawa Barat, digambarkan sebagai sosok manusia lucu yang lugu, nakal, unik, agak pintar-pintar bodoh, agak bodoh-bodoh pintar dan agak berani-berani takut. Ia tampil sebagaipengkritik siapa saja yang dianggapnya berlebihan, arogan dan pongah. Sasarankritiknya bisa dirinya sendiri dan orang lain. Dari jago pukul kampung sampaipejabat pemerintah. Dari orang dusun sampai orang kota. Dari murid sampai Tuan Guru. Dari menantu sampai mertua. Dari anak sampai orang tuanya. Dari isteri sampai suaminya. Demikian seterusnya meliputi berbagai wajah tokoh yang perlu dikritik. Ungkapan kritiknya dibungkus dengan bahasa Banjar prokem yanghumoris dan menggelikan dengan metode berkisah yang khas dan sangat akrab dengan pembaca.
Sebenarnya banyak jenis kesenian lain dalam budaya Banjar yang memuatpesan kritik yang tidak mungkin diuraikan satu persatu di dalam ruangan tulisan sempit ini. Cukup uraian tiga kesenian di atas sebagai representasi signifikan. D. KesimpulanDemikianlah uraian nilai demokrasi dalam budaya Banjar yang berupa nilai musyawarah, keadilan, gotong-royong, persamaan, kebebasan, oposisi dan kritik. Nilai-nilai ini saya kira, bisa menjadi modal sosial dan modal kultural bagimasyarakat Banjar khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk mengembangkan nilai demokrasi yang kontekstual, relevan dan berakar kuat di ranah kebudayaan sendiri sehingga proses perjalanan demokratisasi bisa diharapkan bisa berjalan alami, mulus, anggun, damai dan elegan.
No comments:
Post a Comment